Hari-hari terus melaju. Pembangunan terus digalakkan. Negara-negara berkembang sibuk menanam dan menumbuhkan beton dan besi. Negara maju sibuk mencari cara menanam dan menumbuhkan pohon-pohon.


Ada suatu masalah dalam pikiran kita, barangkali. Ketika kita berpikir tentang cita-cita negara untuk menjadi negara maju, maka yang terlintas dalam pikiran kita, automatisasi, adalah jalan tol, hotel-hotel megah, pusat perbelanjaan, pabrik pengolahan hasil tambang, restoran-restoran cepat saji asal luar negeri, dan yang semisal itu. Hari-hari ini juga terbayangkan oleh kita bahwa negara maju yang ingin kita capai adalah sebuah negara dengan akses listrik tanpa batas, wifi raksasa yang mampu menaungi satu kota, kehidupan digital yang meta, dan sebagainya. Mungkin kita masih dicekcoki oleh pikiran-pikiran poskolonial dengan harapan-harapan dapat menjadi Barat. Mengapa kita tidak memikirkan sebuah konstruksi negara maju dengan hutan, taman kota yang rimba, ecotourism, sungai di antara rumah-rumah, burung-burung yang beterbangan pagi-sore, penjaja makanan keliling yang menyenangkan, dan sejenisnya?

 

Ketika hutan di Kalimantan dibicarakan, memang penting lebih dulu membicarakan bagaimana cara kita berpikir atau lebih dari itu cara kita berimajinasi. Lebih dulu kita majukan bahwa negara Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi laut dan hutan yang sangat besar. Hutan menjadi ciri dari Indonesia. Harusnya kita memulai titik tolak berpikir mengenai pembangunan dari yang khas ini. Agak aneh apabila pembangunan di Indonesia justru menumbangkan metafor hutan. Hutan bukan indikator dari kemiskinan, justruk sebaliknya. Hutan menjadi simbol dari kekayaan alam dan kekayaan budaya. Hutan bahkan menjadi faktor penting bagi kelangsungan hidup setiap makhluk, ya, manusia juga tentunya.


Lalu bagaimana hutan di Kalimantan mengalami penindasan?

Tragedi deforestasi dalam 50 tahun terakhir ini dibuktikan dengan data dari CIFOR bahwa antara tahun 2000 sampai 2017 telah ditemukan 6,04 juta ha hutan telah lenyap. Bahkan tutupan hutan Kalimantan terus berkurang, dari tahun 2000 mencapai 33,2 juta ha, tahun 2009 menjadi 28,3 juta ha, tahun 2013 menjadi 26,8 juta ha, dan tahun 2017 menjadi 24,8 juta ha.

Dampak dari deforetasi ini sangat fundamental. Pertama, kita kehilangan endemisitas dari 15.000 tanaman berbunga, 3.000 jenis kayu, 2.000 spesies anggrek, 1.000 spesies pakis, 420 spesies burung, 222 spesies mamalia, 13 spesies primata, dan lainnya. Bahkan terancam punah spesies ikonik, seperti kantung semar dan orang utan Kalimantan. Entah berapa yang akan tersisa dengan eksploitasi yang terus berlangsung sampai hari ini.


Kedua, kita kehilangan tabung raksasa penyimpanan karbon. Hutan mampu menyerap sampai 250 ton karbon dari 1 ha lahan hutan primer. Menurunnya luas hutan di Kalimantan tentu berdampak pada naiknya karbon ke atmosfer dan meningkatnya laju perubahan iklim. Tentu dampak perubahan iklim sangat mengerikan dari sisi bencana alam dan pangan.


Ketiga, cuaca ekstrem dan bencana alam yang makin sering datang. Efek perubahan iklim misalnya adalah La Nina yang menyebabkan hujan ekstrem yang kemudian menyebakan banjir. Greenpeace Indonesia menduga banjir bandang melanda Kalimantan Selatan lantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) telah kehilangan sekitar 304.225 hektar tutupan hutan sepanjang 2001-2019.


Keempat, hilangnya kekayaan budaya. Hutan telah menjadi sandaran hidup masyarakat adat, sehingga ada banyak tradisi yang berhubungan dengan hutan. Masyarakat adat yang kehilagan hutan, nyaris kehilangan segalanya. Mereka akan beradaptasi dengan gaya hidup baru, dari mata pencaharian, makanan pokok, kebiasaan, dan lain-lain.


Ada banyak sekali kerugian dari deforestasi hutan di Kalimantan. Masyarakat Kalimantan sedang berada di tepi jurang, bahkan dampaknya meluas secara global. Hal tersebut terjadi demi memenuhi ambisi untuk meningkatkan angka ekonomi. Penebangan kayu-kayu besar untuk ekspor, pengeringan lahan-lahan gambut, dan alih fungsi lahan untuk tambang dan perkebunan kelapa sawit.


Yang paling penting adalah kesadaran ekologi. Kalimantan bisa tumbang karena batu dan semen sedang diangkut dan ditanam ke dalam tanah demi menyulap hutan menjadi (ibu) kota. Semoga kota yang dibangun tetap memenuhi prinsip greencity, paling tidak. Lagi-lagi cara berpikir dan berimajinasi.


sumber gambar: pixabay