Dunia sebenarnya telah mewacanakan darurat pangan global jauh-jauh hari. Tiap negara memberikan perhatian yang siginifikan untuk masalah ini. Indonesia sendiri tidak bisa memandang masalah ini sebelah mata hanya karena stigma negara agraria atau anggapan â??tanah suburâ?. Untuk itu program ketahanan pangan perlu diterapkan demi memenuhi stok makanan, dan Indonesia (lagi-lagi) memilih food estate.
Food estate dapat
diartikan sebagai sistem budidaya pangan dalam skala luas yang mencakup
pertanian, perkebunan, dan peternakan. Tujuan food estate adalah meningkatkan produksi pangan dan menurunkan
harga bahan pangan. Selain itu ada peluang untuk meningkatkan penyerapan tenaga
kerja tani. Namun, mengapa food estate belum
memberikan dampak sampai hari ini, bahkan selalu gagal?
Sangat tepat
untuk mengutip analisis Napitupulu dalam WRI Indonesia bahwa setidaknya ada 3
hal yang membuat food estate mandek
dalam menyiapkan pangan Indonesia. Pertama, tidak menjawab persoalan distribusi
pangan; kedua, tidak menjawab persoalan akses makanan sehat; dan ketiga,
intervensi terhadap lingkungan, ekonomi, dan kesahatan. Membaca ketiga
permasalahan ini, maka perlu adanya redefinisi terhadap istilah food estate. Food estate bukan sekadar
menanam lebih banyak untuk memanen lebih banyak, bukan sekadar ketersediaan
lahan yang luas di suatu wilayah, bukan persoalan satu atau dua komoditi pokok,
seperti beras saja,bukan pula
persoalan sebanyak apa petani yang dapat ikut serta melakukannya. Kita harus
sepakat lebih dulu persoalan itu.
Anda bisa
bayangkan, jika sebuah daerah dengan tingkat pangan dan gizi rendah, maka
dengan akses lahan di wilayah tersebut dibangunlah area food estate. Jika saja panen raya terjadi dengan sukses, maka
menyebarkan makanan itu ke wilayah-wilayah lain (yang tingkat pangan dan
gizinya juga rendah) perlu dipikirkan tanpa meningkatkan nilai harga yang
terlalu tinggi. Lucu kalau hasil produksi food
estate justru mematok harga yang tinggi karena persoalan akses harga masih
menjadi persoalan lain secara ekonomi. Ini baru dari satu sisi, yaitu
distribusi, belum kedua masalah lain yang secara elementer sangat mempengaruhi
pola pengembangan pangan selanjutnya.
Dari sisi
ketersediaan pangan yang sehat, pola pengembangan food estate telah membuat ketimpangan dalam sektor diversifikasi
bahan pokok. Ketimpangan ini misalnya terjadi pada satu wilayah masyarakat
mengonsumsi sayuran lebih tinggi daripada produk pangan lain, atau sebaliknya,
terdapat wilayah yang mengonsumsi daging lebih tinggi daripada produk pangan
lainnya. Di Kalimatan Barat contohnya, bahwa terdapat rumah tangga tradisonal
yang megonsumsi nutrisi 30% lebih banyak melalui sayuran. Kesehatan pangan
dalam hal ini dimaksudkan untuk pemenuhan nutrisi melalui berbagai produk
pangan secara seimbang.
Nah, ini yang sangat
penting untuk menjadi catatan, yaitu apa yang dikorbankan untuk dapat
melaksanakan food estate.
Kita tahu bahwa
tanah menjadi faktor penting untuk memproduksi makanan, meskipun ada cara produksi tanpa tanah, dan cara kita memperoleh
tanah selama ini adalah melalui pembukaan hutan dan lahan gambut. Kita tentu
tahu, dampak yang dihasilkan dalam masa depan pertanian kita justru sangat
negatif.
Ketika upaya
restorasi hutan seharusnya menjadi pilihan primer, food estate menggantinya dengan tindakan radikal deforestasi. Kata ??radikal? diperlukan untuk mengingatkan bahwa hutan berfungsi untuk menyerap
karbon demi menahan laju perubahan iklim, yang dalam peta besar dapat
mempengaruhi produksi pangan di masa depan. Begitu pula dengan pembukaan lahan
gambut yang menyebabkan banyak kasus kebakaran terjadi di Indonesia.
Rantai masalah
untuk mencapai ketahanan pangan ini harus diputuskan, dan tentu sudah banyak
pihak yang berkonsentrasi untuk menyelesaikannya. Penyelesaian ini mesti
dilakukan dengan kolaborasi. Pertama, perlu menemukan sistem pertanian yang
tidak monokultur untuk melakukan efisiensi penggunaan lahan, dalam hal ini
tumpang sari dan wanatani dapat menjadi pilihan. Dengan begitu pemanfaatan
areal perkebunan dapat dilakukan untuk pertanian, dan kawasan hutan dapat
dipertahankan. Kedua, melakukan program diversifikasi bahan pangan pokok dengan
titik tolak pada kandungan gizi yang seimbang. Ketiga, desentralisasi lahan
untuk dapat mengatur manajemen logistik, baik manejemen rantai pasok maupun
manajemen distribusi hasil panen.
Kita tidak dapat menunggu momentumnya, kita harus membuat momentum itu. Ada banyak perusahaan rintisan (startup) yang memberikan perhatian pada masalah pangan ini. Dengan kolaborasi dari pemerintah dan komunitas perusahaan rintisan ini, manajemen dan teknologi untuk ketahanan pangan, insyaAllah, dapat dicapai, Arconesia misalnya.
sumber gambar: pixabay