Apa itu CSA?

Sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU) meyumbang 22 % total emisi gas rumah kaca dunia (terbesar ke-2 setelah sektor energi), dan berperan besar dalam mempercepat laju perubahan iklim. Di sisi lain, sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan terdampak efek perubahan iklim. Peningkatan suhu, curah hujan yang tak menentu, dan cuaca ekstrem dapat menurunkan produksi pangan, menyebabkan kegagalan panen, dan pada akhirnya mengancam ketahanan pangan.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), bersama dengan para ilmuwan dunia sudah merancang sebuah pendekatan pertanian yang mempu menjaga ketahanan pangan di era pemanasan global. Pendekatan inilah yang dinamakan dengan climate-smart agriculture (CSA).

Pendekatan CSA memiliki tiga tujuan utama, yaitu :

  1. Meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjaga ketahahan pangan.
  2. Meningkatkan daya tahan petani terhadap efek perubahan iklim di berbagai level, mulai dari level petani hingga pemerintah.
  3. Mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penyerapan karbon di lahan pertanian

Secara garis besar, CSA adalah pendekatan yang muncul untuk meningkatkan poduksi pangan, keanekaragaman hayati, kualitas lingkungan, daya tahan agroekosistem, pendapatan petani, sekaligus mengatasi dampak perubahan iklim.


Keuntungan praktik CSA

Menariknya, praktik CSA ini mengadopsi konsep pertanian berbasis kearifan lokal petani kecil di Indonesia. Beberapa praktik pertanian tradisional seperti tumpang sari, agroforestry, minapadi, integrasi ternak dan tanaman saat ini tengah menjadi perhatian dunia karena dinilai berpotensi menjadi model pertanian masa depan dalam menghadapi efek perubahan iklim.

Salah satu ciri khas dari praktik CSA tersebut adalah simbiosis mutualisme antar komponen di agroekosistem, sehingga praktik CSA menghindari sistem budidaya monokultur, yaitu hanya ada satu komoditi di sebuah lahan. Dengan konsep ini, para petani bisa memperoleh setidaknya dua keuntungan ditinjau dari sisi ekonomi, yaitu:


  • Overyielding effect

Jika semua komoditi bisa berhasil dipanen, maka para petani bisa memperoleh keuntungan lebih tinggi dibandingkan hanya budidaya satu jenis komoditi di sebuah lahan (sistem monokultur)

  • Insurance effect

Jika tejadi kerugian di salah satu komoditi, maka masih terdapat komoditi lainnya yang berpotensi mengkompensasi kerugian tersebut.

CSA Framework

Praktik CSA tidak jauh berbeda dengan konsep pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), CSA sendiri adalah gabungan dari beberapa metode pertanian berkelanjutan untuk menghadapi efek  perubahan iklim.

Arconesia menggabungkan tiga metode pertanian berkelanjutan untuk memastikan tujuan CSA  bisa dicapai oleh para petani di lapangan.


1. Analisis risiko iklim
Sebelum melakukan budidaya, tim Arconesia menganalisis terlebih dahulu risiko iklim yang berkemungkinan terjadi di lokasi budidaya menggunakan data cuaca BMKG dan citra satelit. Informasi inilah yang akan digunakan untuk menentukan strategi adaptasi yang paling tepat di lokasi budidaya. Sebagai contoh, jika risiko utama adalah kekeringan dan musim kemarau panjang, maka tim Arconesia akan merekomendasikan para petani untuk menggunakan tanaman penutup tanah (cover crop), mulsa, dan irigasi drip untuk meningkatkan efesiensi penggunaan air.
Untuk lokasi dengan risiko utama adalah intensitas hujan tinggi dan banjir, maka pendekatan CSA yang digunakan adalah sumur resapan, pembuatan drainase, tanggul, penanaman cover crop, dan vegetasi yang mampu menghalang arus air.
2. Manajemen budidaya berbasis diversifikasi tanaman
Tim Arconesia membantu petani untuk menggunakan sistem tanam yang tidak monokultur (ex. praktik tumpang sari, agroforestry, minapadi, integrasi ternak dan tanaman). Petani memperoleh bantuan mulai dari menentukan kombinasi tanaman yang tepat, agri-Input yang tepat, pola tanam yang tepat, hingga akses pasar setelah panen untuk memastikan penerapan praktik CSA bisa berkelanjutan.
3. Intalasi renewable energy (RE)

Salah satu kebutuhan paling mendasar saat proses budidaya adalah energi. Tim Arconesia membantu para petani menggunakan renewable energy (RE) melalui penyediaan akses RE dengan harga terjangkau dan membantu proses instalasi dan maintanance selama proses budidaya berlangsung.

Siapa yang harus menggunakan CSA?

Para petani kecil seharusnya menjadi pengguna utama praktik CSA di Indonesia. Indonesia merupakan negara ke-3 dengan jumlah petani kecil terbanyak di dunia. Di Indonesia, 80 % pangan juga diproduksi oleh para petani kecil. Mirisnya, mayoritas  petani kecil di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan sehingga membuat mereka menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi efek perubahan iklim.

Di sisi lain, sebagaimana petani kecil adalah produsen utama pangan kita, saat mayoritas dari mereka menggunakan pendekatan CSA, dampaknya terhadap pangan dan lingkungan akan jauh lebih besar.

Oleh karena itu, Arconesia berkomitmen membantu para petani kecil bertransformasi dari sistem pertanian konvensional menuju cerdas iklim (CSA). Saat ini, Arconesia menjadi platform manajemen budidaya yang menyediakan akses yang dibutuhkan oleh petani agar mampu mengadopsi praktik CSA, mulai dari akses modal, teknologi, dan pasar.